Membuat Musibah Menjadi
Anugerah - Musibah demi musibah yang mewarnai kehidupan manusia boleh jadi adalah bukti dari kasihsayang
Allah. Banyak cara Allah membuktikan cinta-Nya kepada kita, salah satunya
dengan memberikan musibah. Musibah yang datang silih berganti janganlah kita
anggap sebagai takdir buruk. Sebagai orang beriman, maknailah musibah itu
dengan bijak
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang mengenal dirinya
sendiri (selalu bermuhasabah terhadap kekurangan-kekurangan diri) dan beramal
untuk bekal setelah kematiannya.” (HR. Tirmidzi).
Saudaraku,
Orang yang cerdas dalam pandangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah
orang yang mengenali diri sendiri. Persoalannya adalah sering kita mengenali kelebihan-kelebihan
diri kita yang tak seberapa, namun kita tidak mampu meraba
kekurangan-kekurangan, kelemahan dan aib yang selalu melekat pada diri kita.
Bahkan tidak jarang, kelebihan dan prestasi yang telah kita raih membuat
kita ujub dan bangga diri, dan melupakan Zat yang telah melapangkan untuk kita
jalan-jalan kemudahan dan meringankan langkah kaki kita untuk menggapai
kesuksesan dan kejayaan tersebut. Padahal tanpa pertolongan dan bantuan-Nya,
kita tak akan pernah menggapai apa yang kita impikan.
Dan hal ini tentunya merupakan bencana besar bagi kita yang sedang
mengadakan perjalanan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berarti kita telah
menambah beban berat di pundak kita. Yang akan menghalangi kita berjumpa dengan
Zat yang Maha Agung lagi Maha Kuat.
Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anh pernah berucap, “Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati seseorang yang menunjukan untukku
kekurangan-kekuranganku.”
Kita akan sangat berterima kasih kepada orang yang berkenan memberikan
informasi bahwa seekor ular berbisa masuk ke dalam rumah kita atau menunjukan
noda kotoran yang ada pada baju dinas kita.
Tapi kita justru tersinggung, jika ada orang yang menyampaikan tentang
kelemahan dan kekurangan bekal kita menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atau
sifat-sifat tercela yang dilihatnya dari kita. Atau kebiasakan buruk yang
sering kita perbuat.
Kita bergembira, jika ada orang yang menyelamatkan kita dari gangguan yang
akan mengancam fisik kita dan keluarga (seperti ular berbisa), tapi kenyamanan
kita malah terusik, jika ada orang yang menjauhkan kita dari sengatan api
neraka. Dengan mengingatkan kekurangan dan kealpaan kita serta sifat-sifat
buruk yang harus kita benahi untuk menghadap-Nya.
Saudaraku,
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah, dalam karyanya “Mukhtashar
Minhaj al-Qashidin” berbagi pengalaman untuk kita agar kita selalu
mengenali kekurangan diri dan meraba aib-aib kita:
Berkonsultasi kepada seorang tokoh agama (terpercaya)
yang mendalami persoalan ini (aib dan kelemahan diri), lalu ia menunjukan aib
diri kita dan memberikan obat penawar agar kita terbebas dari penyakit yang
mendera kita. Ia ibarat seorang tabib yang kita perlukan setiap saat dan kita
harus selalu berdekatan dengannya.
Saudaraku,
Sebagaimana kita biasa bertanya kepada pakar bisnis, agar kita sukses dalam
bisnis kita. Bertanya kepada pakar bidang pertanian, dengan tujuan agar kita
berjaya dalam menggarap sawah ladang dan kebun kita. Dan seterusnya. Tapi
jarang di Antara kita yang memiliki perhatian serius untuk selalu mengadakan
konsultasi intensif kepada ahli agama, yang akan membantu kita meraih sukses di
akherat sana. Dengan menunjukan kepada kita bekal-bekal meraih keberuntungan di
sana. Dan kiat-kiat menjauhi aib dan kekurangan diri yang akan menghambat
perjalanan kita ke sana.
Meminta salah seorang sahabat yang jujur, cerdas dan
Islami sebagai pengontrol dan pengawas agar kita tak terjatuh ke jurang akhlak
yang tercela dan ucapan yang mendatangkan kebencian-Nya.
Saudaraku,
Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Hudzaifah bin Yaman, apakah
ia termasuk dalam kelompok orang-orang munafik. Ia pernah pula meminta kepada
Salman al-Farisi untuk mendengarkan suara rakyat perihal kepemimpinannya.
Demikian pula di Antara sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika
bertemu satu sama lain saling menanyakan tentang kabar keimanannya hari ini dan
seterusnya. Berbeda dengan kita, jika bertemu dengan sahabat-sahabat kita, yang
kita bicarakan adalah persoalan bisnis dan dunia. Seolah-olah hanya kebahagiaan
dunia yang ingin kita gapai. Padahal kerugian dan kebangkrutan di akherat telah
mengintai kita, wal ‘iyadzu billah.
Mendengarkan kelemahan-kelemahan kita dari lisan
orang-orang yang membenci kita (para pesaing kita). Karena pandangan mata
mereka teramat tajam menyisiri kelemahan-kelemahan diri kita.
Saudaraku,
Pernahkah kita mendengarkan suara-suara orang yang membenci dan memusuhi
kita? Pernahkah kita meminta orang yang dekat dengan kita, untuk menulis
makalah dengan judul “penilaian masyarakat dengan kita”.
Jika ini kita perbuat, mudah-mudahan kita akan mengenal kelemahan,
kekurangan dan aib-aib kita dari orang-orang di sekitar kita. Bisa jadi kita
akan menangis, dengan banyaknya catatan buruk dan komentar miring dari orang
lain tentang kita.
Yang sebelumnya kita merasa bahwa diri kita sarat dengan kelebihan,
berhiaskan prestasi dan memiliki kemampuan dan pesona diri yang mengagumkan.
Ternyata di mata masyarakat, kita dikenal pribadi yang angkuh, sombong,
memiliki kepribadian yang rapuh, mudah tersinggung, senang dengan pujian, pamer
dengan amalan dan yang seirama dengan itu.
Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat. Setiap
tindakan dan perilaku mereka yang tidak kita sukai, kita jauhi dan hindari.
(Karena jika kita berbuat seperti mereka, maka hal itu merupakan sebuah aib
atau kekurangan yang dibenci pula oleh orang lain).
Saudaraku,
Jika kita mendengar keburukan dan aib kita dari lisan masyarakat, untuk
perbaikan dan maslahat diri kita. Sebaliknya, kita amati dan pelajari
sifat-sifat buruk dan perilaku mereka yang tak kita sukai, bukan untuk
membeberkan aib mereka. Atau kita jadikan sebagai catatan dan raport buruk
mereka, yang sewaktu-waktu bisa jadikan senjata untuk melumpuhkan mereka. Tapi tujuannya
adalah agar kita dapat menjauhi sifat-sifat dan perangai buruk tersebut, agar
kita dicintai oleh penghuni bumi dan langit sana.
Saudaraku,
Mengenali kelemahan diri, tidak akan memberikan faedah apa pun kepada kita,
jika kita tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka mari kita lanjutkan
pendakian kita menuju puncak ubudiyah dengan menambal kekurangan dan aib diri
kita dan sudah barang tentu dengan selalu menambah ma’rifat kita kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Sudahkah kita menjadi orang yang cerdas? Wallahu a’lam bi shawab.
semua yg ada di'bumi hanya bersifat sementara,,
BalasHapuskita hidup untuk mati, dan mati untuk hidup (kita terlahir di'bumi untuk mati dan hidup di'surga) tentu'y ketentuan dan syarat berlaku,, ^_-